Baca tulisan ini dengan posisi netral.
Hingga saat ini yang saya tangkap, banyak yang kontrak karena tidak ingin merusak alam + ingin Raja Ampat jadi destinasi wisata saja.
Saya tidak setuju untuk itu.
Saya menulis ini dari kacamata saya yang lahir dan besar di Timika, Papua. Kalau kalian tidak tahu apa itu kota Timika, kalian pasti tahulah Freeport Sebuah kota kecil di Papua yang diciptakan Sang Pencipta dengan keindahan dan sumber daya alam emas.
Oh iya Freeport itu emas (sumber daya alam) di ambil dari Timika, Papua terus kemudian Smelter pengelolaannya di Gresik, Jawa Timur. Ini yang kemudian menjadi salah satu titik penting saya dalam berargumen, Raja Ampat – Keindahan yang harus dilindungi atau potensi yang harus dikembangkan?!
Salah satunya lagi karena oi, saya kalau mau pulang kampung ke Timika Papua, baik dari Bali ataupun dari Jakarta memakan biaya Rp6,5-7,5juta PP!
Beberapa kali road trip bali – jawa, sangat mudah sekali untuk berpegian dari satu daerah ke daerah karena infrastruktur di Jawa yang memadai. Tapi entahlah udah ngerusak berapa banyak alam saat infrastuktur itu dibangun.
Pembangunan membawa banyak perubahan terhadap lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik.
Dengan adanya pembangunan, berarti mau tidak mau, dimana saja itupun, manusia akan mengorbakan Alam!
Saya pribadi, tidak ingin Papua menjadi kota “Hutan” saja, atau biasa dibilang Paru Paru dunia. Ini seperti makan propaganda Barat! Yang menginginkan status quo – ini lebih ke politik internasional, tapi bisa dibilang polanya sama.
Semua kota dunia wajib menjadi Paru-Paru dunia, jangan memberatkan itu kepada wilayah Papua. Oke, mungkin ada istilah “Pembangunan Berkelanjutan” Tapi nanti akan dibahas di tempat lain. Pliss buang sampah pada tempatnya baru ngomongin merusak alam.
Raja Ampat, dikasih sumber daya alam yang luar biasa! Terus datanglah sang Pencipta memberikan lebih, yaitu Nikel. Sebuah sumber daya yang bisa membawa Papua keluar dari “Zona Nyaman”. Atau mungkin tetap sama saja (Lihat Timika).
Bayangkan jika sumber daya itu dikendalikan, dan diberikan kembali ke masyarakat Papua yang membutuhkan. Pembangunan transportasi darat, udara laut, biar tiket pesawatnya tidak semahal itu. Pembangunan jalur distribusi biar kalian tidak tanya ke saya “Di papua harga indomienya 10ribu?! Bensin beneran 100ribu?”. Semakin besar kotanya, semakin murah barang-barangnya.
Sedikit senang ketika Freeport waktu itu diambil alih oleh Indonesia. Yes!
Tapi jengkel ketika pengelolaan smelter di bawa ke Gresik, Jawa Timur dengan alasan karena tidak ada infrastruktur yang memadai – dan mungkin untuk membangun infrastruktur di Papua, ROI nya akan tidak nyampe mengingat kan “bentar lagi emas nya habis” (Koreksi kalau salah).
Jadi, is okey tahun 1996 lahan alam di gresik di “hancurkan” dan dibangun smelter. Tapi tidak untuk Papua?
Oke mungkin kejauhan.
Tapi coba liat berita BYD membangun pabrik di Subang, Jawa Barat. Saya tidak ada melihat ada yang komplen soal merusak alam, merusak tanah, merusak lahan ijo. Atau mungkin karena Jawa Barat sudah terlalu tidak hijau jadi oke oke saja?
Atau pembangunan jalan tol trans Jawa yang entah memakan dan menghancurkan berapa banyak lahan hijau?!
“Tapi itu kan beda itu untuk kebutuhan transportasi masyarakat Jawa kan dampaknya juga masyarakat di timur yang merasakan”
Oh pliss. Namanya pembangunan pasti merusak alam, namanya pembangunan dan pengelolaan pasti akan menguntungkan semua orang. Pengelolaan Nikel jadi di Raja Ampat pun pasti teman-teman yang di Jawa juga merasakan. Freeport yang emasnya diambil dari Papua, toh level manajemen atasnya lebih banyak orang dari luar Papua.
Jadi boleh merusak alam di Jawa tapi tidak di Papua? Atau mungkin kerusakan nya tidak separah ketika merusak Papua?
“Tapi kan itu berbeda – di Raja Ampat keindahan alamnya udah bagus, ngapain ngerusak alam dan ngambil alam?”
Oke Raja Ampat, wisata alam yang luar biasa, tapi tahukah kamu kalau biaya kesana itu tergolong mahal?
Coba perhatikan kalau ada pabrik,atau pembangunan lainnya, bisa saja jadi lebih terjangkau. Mungkin.
“Kan beda, di Raja Ampat itu tambang yang ngambil sumber daya”. Sumber daya ada untuk dikelola. Uang hasil kelolanya dibalikin ke masyarakat. Saya punya website blog, ya saya kelola website blognya biar jadi ladang cuan.
Raja Ampat dikasih keindahan alam + sumber daya alam. Ya dikelola. Banyak yang makan dari itu, banyak kepala yang hidup dari sana.
Saya pribadi oke-oke saja jika dibangun dan kekayaan alam Indonesia dikelola.
Yang tidak – dan masih sinis sampe saat ini – tidak mungkin itu uang hasil sumber daya kembali ke Masyarakat.
Mungkin jika sampai suatu saat RUU Perampasan Asset berhasil, baru setidaknya ada rasa optimisme untuk membiarkan pemerintah mengelola kekayaan alam.